Danau tasikardi terletak sekitar 10 km dari pusat kota Serang. Ada dua rute yang dapat anda lalui menuju Tasikardi. Rute pertama melalui Jl. Banten Lama, melewati Pelabuhan Karang Antu, Benteng Speelwijk dan Vihara Avalokitesvara. Rute kedua dari kota Serang anda mengambil arah menuju kota Cilegon. Di kota kecamatan Kramatwatu anda dapat mengambil arah ke utara (belok kanan) menuju danau Tasikardi. Untuk anda yang senang berpetualang dengan menggunakan sepeda, dapat mengikuti Jalur Pipa Gas (JPG) dari Kota Serang sampai ke Kecamatan Kramatwatu.
Danau Tasikardi terletak di Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu,
Kabupaten Serang.
Kata Tasikardi merupakan gabungan dua suku kata dari bahasa Sunda,
yaitu tasik dan ardi yang artinya danau buatan. Menurut sejarahnya,
danau tersebut dibuat pada masa pemerintahan Panembahan
Maulana Yusuf (1570-1580 M), sultan kedua Kesultanan Banten. Konon,
danau yang luasnya mencapai 5 hektar dan bagian dasarnya dilapisi dengan
ubin batu bata ini, dahulunya, merupakan tempat peristirahatan
sultan-sultan Banten bersama keluarganya.
Pada masa itu, danau yang juga dikenal dengan Situ Kardi ini memiliki
fungsi ganda. Selain sebagai penampung air dari Sungai Cibanten yang
digunakan untuk mengairi areal persawahan, danau ini juga dimanfaatkan
untuk memenuhi pasokan air bagi keluarga keraton dan masyarakat
sekitarnya. Air Danau Tasikardi dialirkan ke Keraton Surosowon melalui
pipa-pipa yang terbuat dari tanah liat berdiameter 2-40 sentimeter.
Sebelum digunakan, air danau tersebut terlebih dahulu disaring dan
diendapkan di tempat penyaringan khusus yang dikenal dengan sebutan
pengindelan abang (penyaringan merah), pengindelan putih
(penyaringan putih), dan pengindelan emas (penyaringan emas).
Dewasa ini, Danau Tasikardi, bersama Masjid Agung Banten
, Keraton Surosowon, Keraton Kaibon, Pasar Lama Serang, Benteng Speelwijk, dan Vihara Avalokitesvara, masuk dalam Situs Banten Lama. Keberadaan situs-situs
yang berada di Kabupaten Serang tersebut, selain menjadi saksi bisu
tentang kegemilangan peradaban Kesultanan Banten pada masa lampau, juga
merupakan tempat tujuan wisata sejarah yang mengasyikkan. Para pengelola
biro perjalanan wisata pun telah mengemas situs-situs tersebut dalam
satu paket wisata khusus, yaitu Kawasan Wisata Banten Lama.
Mengunjungi Danau Tasikardi yang konon tidak pernah kering dan tidak
pernah meluap ini terbilang istimewa. Karena dengan mengunjungi danau
tersebut, berarti telah mengunjungi situs sejarah dan sekaligus obyek wisata
yang memesona. Sebagai situs sejarah, keberadaan
danau ini adalah bukti kegemilangan peradaban Kesultanan Banten pada
masa lalu. Untuk ukuran saat itu, membuat waduk atau danau buatan untuk
mengairi areal pertanian dan memenuhi kebutuhan pasokan air bagi
penduduk merupakan terobosan yang cemerlang.
Ditengah danau terdapat sebuah pulau yang dahulunya merupakan
tempat rekreasi keluarga kesultanan. Untuk
mencapai pulau seluas 44 x 44 meter persegi yang berjarak sekitar 200
meter dari bibir danau ini, wisatawan dapat menyewa perahu. Di pulau
tersebut, masih dapat dilihat sisa-sisa peninggalan Kesultanan Banten,
seperti kolam penampungan air, pendopo, dan kamar mandi keluarga
kesultanan. Juga terdapat jungkit-jungkitan, semacam tempat permainan
untuk anak-anak yang terbuat dari besi panjang, yang terletak di samping
pendopo.
Jelang matahari terbenam, eksotisme danau yang menjadi saksi bisu
tentang kegemilangan Banten pada masa lalu. Burung-burung kecil yang
terbang rendah di tepi danau dan sesekali menyambar air danau, kian mengukuhkan betapa spesialnya Tasikardi ini.
(Yusriandi Pagarah/wm/55/07-08)
Jumat, 18 Desember 2009
Sabtu, 12 Desember 2009
Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama (MS
Terletak di Banten Lama, kurang lebih 10 km utara kota Serang. Berjarak hanya 300 m dari Masjid Agung Banten. Berdiri di atas lahan seluas 10.000 meter persegi dengan luas bangunan mencapai 778 meter persegi, MSKBL diban-guan demi dua misi.
Pertama, tempat menyimpan benda cagar budaya bergerak (moveable artifact) hasil penelitian yang berasal dari situs Banten lama dan sekitarnya. Kedua, sebagai media atau sarana yang bersifat rekreatif ilmu pengetahuan dan sebagai sumber inspirasi.
Dilihat dari jenisnya, koleksi benda-benda sejarah didalam MSKBL bisa diklasifikasikan ke dalam lima kelompok.
Pertama, arke-ologika atau benda-benda yang mengandung nilai arkeologi, seperti arca Nandi, in.dimin, gerabah, atap, lesung batu dan lain sebagainya.
Kedua, numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata uang yang dicetak oleh masyarakat Banten.-Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata uang Lnggris, tael dan mata uang Banten sendiri. Bahkan, di salah satu ruangan, masih tersimpan mesin pencetak uang Oridab (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten), yang digunakan selama masa pergerakan kemerdekaan.
Ketiga, etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat suku Baduy, berbagai macam senjata tradisional, dan peninggalan kolonial seperti tombak, keris, golok, peluru meriam, pedang, pistol, dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa kesultanan Banten, kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukkan kesenian debus.
Keempat, keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal maupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur Tengah, dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri-ciri khas sendiri. Keramik lokal lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan, serta wadah pelebur logam yang biasa disebut dengan istilah qowi.
Kelima, seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Di antaranya yang terkenal adalah lukisan peta yang menggambarkan posisi Kesultanan Banten pada abad ke-17. Terdapat pula reproduksi lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682. Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang menggambarkan suasana di Tasikardi dan diorama latihan perang prajurit Banten.
Tentu saja, selain benda-benda bersejarah yang terdapat di bagian dalam museum, MSKBL masih menyimpan artefak di luar ruangan danjustru menjadi objek yang lebih populer di kalangan pengunjung. Yakni meriam Ki Amuk yang menempati lokasi di sudut kanan museum. Meriam yang berusia lebih dari empat ratus tahun itu beratnya mencapai tujuh, ton dan panjang sekitar 2,5 meter. Konon-karena belum ada penelitian ilmiahnya-Ki Amuk punya kembaran yang bernama Ki Jagur yang sekarang sekarang berada di Museum Fatahillah Jakarta.
Persis di depan Ki Amuk atau di samping kanan MSKBL, terdapat sebuah artefak bekas penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sudah tak utuh lagi. Konon, mesin penggiling lada inilah yang menjadikan Banten sukses sebagai pengekspor ladat terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Aceh.
Sumber: (Muhtar I.T./"PR")
Pertama, tempat menyimpan benda cagar budaya bergerak (moveable artifact) hasil penelitian yang berasal dari situs Banten lama dan sekitarnya. Kedua, sebagai media atau sarana yang bersifat rekreatif ilmu pengetahuan dan sebagai sumber inspirasi.
Dilihat dari jenisnya, koleksi benda-benda sejarah didalam MSKBL bisa diklasifikasikan ke dalam lima kelompok.
Pertama, arke-ologika atau benda-benda yang mengandung nilai arkeologi, seperti arca Nandi, in.dimin, gerabah, atap, lesung batu dan lain sebagainya.
Kedua, numismatika, berupa koleksi mata uang, baik mata uang asing maupun mata uang yang dicetak oleh masyarakat Banten.-Mata uang yang pernah dipakai sebagai alat tukar yang sah dalam transaksi jual beli ketika itu adalah caxa/cash, mata uang VOC, mata uang Lnggris, tael dan mata uang Banten sendiri. Bahkan, di salah satu ruangan, masih tersimpan mesin pencetak uang Oridab (Oeang Republik Indonesia Daerah Banten), yang digunakan selama masa pergerakan kemerdekaan.
Ketiga, etnografika, berupa koleksi miniatur rumah adat suku Baduy, berbagai macam senjata tradisional, dan peninggalan kolonial seperti tombak, keris, golok, peluru meriam, pedang, pistol, dan meriam. Ada juga koleksi pakaian adat dari masa kesultanan Banten, kotak peti perhiasan dan alat-alat pertunjukkan kesenian debus.
Keempat, keramologika, berupa temuan-temuan keramik, baik itu keramik lokal maupun keramik asing. Keramik asing berasal dari Birma, Vietnam, Cina, Jepang, Timur Tengah, dan Eropa. Masing-masing keramik memiliki ciri-ciri khas sendiri. Keramik lokal lebih dikenal sebagai gerabah yang diproduksi dan berkembang di Banten. Gerabah tersebut biasa digunakan sebagai alat rumah tangga, bahan bangunan, serta wadah pelebur logam yang biasa disebut dengan istilah qowi.
Kelima, seni rupa, berupa hasil reproduksi lukisan atau sketsa yang menggambarkan aktivitas masyarakat di Banten masa itu. Di antaranya yang terkenal adalah lukisan peta yang menggambarkan posisi Kesultanan Banten pada abad ke-17. Terdapat pula reproduksi lukisan duta besar Kerajaan Banten untuk Kerajaan Inggris, yakni Kyai Ngabehi Naya Wirapraya dan Kyai Ngabehi Jaya Sedana yang berkunjung ke Inggris pada tahun 1682. Reproduksi kartografi Banten in European Perspective, lukisan-lukisan yang menggambarkan suasana di Tasikardi dan diorama latihan perang prajurit Banten.
Tentu saja, selain benda-benda bersejarah yang terdapat di bagian dalam museum, MSKBL masih menyimpan artefak di luar ruangan danjustru menjadi objek yang lebih populer di kalangan pengunjung. Yakni meriam Ki Amuk yang menempati lokasi di sudut kanan museum. Meriam yang berusia lebih dari empat ratus tahun itu beratnya mencapai tujuh, ton dan panjang sekitar 2,5 meter. Konon-karena belum ada penelitian ilmiahnya-Ki Amuk punya kembaran yang bernama Ki Jagur yang sekarang sekarang berada di Museum Fatahillah Jakarta.
Persis di depan Ki Amuk atau di samping kanan MSKBL, terdapat sebuah artefak bekas penggilingan lada yang terbuat dari batu padas yang sudah tak utuh lagi. Konon, mesin penggiling lada inilah yang menjadikan Banten sukses sebagai pengekspor ladat terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Aceh.
Sumber: (Muhtar I.T./"PR")
Kamis, 10 Desember 2009
Benteng Speelwijk
Terletak sekitar 500 m dari Masjid Agung Banten, di Kampung Pamarican terdapat Benteng Speelwijk. Bangunan ini adalah simbol kekuasaan kolonialisme Belanda, sekaligus penanda berakhirnya era kejayaan Kesultanan Banten. Benteng yang arsitektunya dirancang oleh Hendrick Loocaszoon Cardeel itu dibangun belanda pada masa pemerintahan Sultan Banten Abu Nasr Abdul Qohhar (1672-1684). Pembangunan Bennteng ini membutuhkan waktu 4 tahun, yakni 1681-1684.
Nama Speelwijk diambil untuk menghormati Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-14, yakni Cornelis Janszoon Speelman yang memerintah antara tahun 1681-1684. Speelman meminta izin kepada Sultan Qohhar membangun Benteng dangan alasan untuk mengantisipasi serangan rakyat Banten yang benci kepada Belanda. Terutama orang-orang Banten pengikut Sultan Agung Tirtayasa.
Benteng Speelwijk dibangun dengan tidak mengerahkan tenaga rakyat Banten, melainkan orang-orang Cina dengan upah yang sangat rendah. Dinding Benteng terbuat dari campuran batu, pasir dan kapur, berdiri tegak setinggi 3 meter. Dikelilingi parit selebar 10 meter, dengan maksud agar sulit ditembus musuh yang menyerang Benteng ini.
Kondisi Benteng Speelwijk saat ini sudah tidak utuh, dibeberapa bagian bahkan sudah rata dengan tanah. Tetapi masih tampak jelas sisa-sisa bangunan berupa rumah komandan, gereja, kamar senjata, kantor administrasi, toko kompeni dan amar dagang. Di atas dinding bagian utara dapat dilihat ruang ”intip” yang berfungsi sebagai tempat mengamati musuh bagi prajurit Belanda. Dibagian barat laut dan barat daya benteng terdapat bungker/ruang bawah tanah yang dihubungkan dengan lorong.
Nama Speelwijk diambil untuk menghormati Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-14, yakni Cornelis Janszoon Speelman yang memerintah antara tahun 1681-1684. Speelman meminta izin kepada Sultan Qohhar membangun Benteng dangan alasan untuk mengantisipasi serangan rakyat Banten yang benci kepada Belanda. Terutama orang-orang Banten pengikut Sultan Agung Tirtayasa.
Benteng Speelwijk dibangun dengan tidak mengerahkan tenaga rakyat Banten, melainkan orang-orang Cina dengan upah yang sangat rendah. Dinding Benteng terbuat dari campuran batu, pasir dan kapur, berdiri tegak setinggi 3 meter. Dikelilingi parit selebar 10 meter, dengan maksud agar sulit ditembus musuh yang menyerang Benteng ini.
Kondisi Benteng Speelwijk saat ini sudah tidak utuh, dibeberapa bagian bahkan sudah rata dengan tanah. Tetapi masih tampak jelas sisa-sisa bangunan berupa rumah komandan, gereja, kamar senjata, kantor administrasi, toko kompeni dan amar dagang. Di atas dinding bagian utara dapat dilihat ruang ”intip” yang berfungsi sebagai tempat mengamati musuh bagi prajurit Belanda. Dibagian barat laut dan barat daya benteng terdapat bungker/ruang bawah tanah yang dihubungkan dengan lorong.
Label:
Banten,
Banten Lama,
Belanda,
Benteng Speelwijk,
Karang Hantu,
Sejarah Banten
Wihara Avalokitesvara
Bukan hanya bangunan masjid, Kesultanan Islam Banten juga menyisakan bangunan wihara Buddha atau klenteng China. Disebelah barat daya Surosowan berdiri Wihara Avalokitesvara, yang dibangun pada 1652.
Bangunan wihara ini merupakan peninggalan Sultan Syarief Hidayatullah, yang menikahi seorang putri China saat sang putri bertandang ke Pelabuhan Banten. Wihara dibangun sebagai tempat peribadatan para pengikut putri China, yang kemudian tinggal di Banten Lama.
Saat ini, Wihara Alokitesvara merupakan salah satu wihara tertua di Indonesia, yang kerap dibanjiri peziarah karena terdapat altar Kwan Im Hut Cou atau Dewi Kwan Im. Dewi Kwan Im dipercaya sebagai dewi yang penuh welas asih, yang diyakini sering menolong manusia saat dihadapkan pada berbagai kesulitan.
Selain itu, di dalam wihara juga terdapat 15 altar, seperti altar Thian Kong yang berarti Tuhan Yang Maha Esa dan Sam Kai Kong atau penguasa tiga alam.
Setiap tahun wihara di Kampung Kasunyatan, Desa Banten, ini selalu dipadati puluhan ribu pemeluk Buddha dari banyak daerah di Indonesia, Belanda, Jerman, dan Thailand. Mereka datang, terutama, pada peringatan Lak Gwe Cap Kau, saat Dewi Kwan Im mendapatkan kesempurnaan.
Terlepas dari itu, berdirinya wihara di kompleks kerajaan Islam bisa menunjukkan tingginya toleransi antarumat beragamapada masa itu. Warga yang berbeda agama bisa hidup berdampingan dengan harmonis di kota tua tersebut.
Untuk melihat dengan jelas sisa-sisa peninggalan Kesultanan Banten, Museum Kepurbakalaan Banten Lama bisa menjadi tujuan kunjungan.
Gambar peta dunia yang dibuat dengan tulisan tangan juga terpampang di sana. Demikian pula gambar Kiayi Ngabehi Wirapraja dan Kiayi Abi Yahya Sandara, dua Duta Besar Kesultanan Banten untuk Inggris. Itu menunjukkan majunya pemikiran para sultan karena mengerti pentingnya diplomasi.
Koleksi mata uang dan pecahan keramik dari sejumlah negara juga disimpan di museum tersebut. Itu merupakan bukti bahwa Kerajaan Banten memiliki bandar besar, tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bandar Banten dikunjungi para pedagang dari Gujarat (India), China, Melayu, Persia, dan Eropa.
Tidak perlu biaya mahal untuk menikmati sisa keindahan dan cerita kejayaan Kesultanan Islam Banten. Cukup membayar Rp 1.000, pengunjung sudah dapat mengantongi tiket untuk menjelajahi museum seluas 1.000 meter persegi.
Bangunan wihara ini merupakan peninggalan Sultan Syarief Hidayatullah, yang menikahi seorang putri China saat sang putri bertandang ke Pelabuhan Banten. Wihara dibangun sebagai tempat peribadatan para pengikut putri China, yang kemudian tinggal di Banten Lama.
Saat ini, Wihara Alokitesvara merupakan salah satu wihara tertua di Indonesia, yang kerap dibanjiri peziarah karena terdapat altar Kwan Im Hut Cou atau Dewi Kwan Im. Dewi Kwan Im dipercaya sebagai dewi yang penuh welas asih, yang diyakini sering menolong manusia saat dihadapkan pada berbagai kesulitan.
Selain itu, di dalam wihara juga terdapat 15 altar, seperti altar Thian Kong yang berarti Tuhan Yang Maha Esa dan Sam Kai Kong atau penguasa tiga alam.
Setiap tahun wihara di Kampung Kasunyatan, Desa Banten, ini selalu dipadati puluhan ribu pemeluk Buddha dari banyak daerah di Indonesia, Belanda, Jerman, dan Thailand. Mereka datang, terutama, pada peringatan Lak Gwe Cap Kau, saat Dewi Kwan Im mendapatkan kesempurnaan.
Terlepas dari itu, berdirinya wihara di kompleks kerajaan Islam bisa menunjukkan tingginya toleransi antarumat beragamapada masa itu. Warga yang berbeda agama bisa hidup berdampingan dengan harmonis di kota tua tersebut.
Untuk melihat dengan jelas sisa-sisa peninggalan Kesultanan Banten, Museum Kepurbakalaan Banten Lama bisa menjadi tujuan kunjungan.
Gambar peta dunia yang dibuat dengan tulisan tangan juga terpampang di sana. Demikian pula gambar Kiayi Ngabehi Wirapraja dan Kiayi Abi Yahya Sandara, dua Duta Besar Kesultanan Banten untuk Inggris. Itu menunjukkan majunya pemikiran para sultan karena mengerti pentingnya diplomasi.
Koleksi mata uang dan pecahan keramik dari sejumlah negara juga disimpan di museum tersebut. Itu merupakan bukti bahwa Kerajaan Banten memiliki bandar besar, tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional. Bandar Banten dikunjungi para pedagang dari Gujarat (India), China, Melayu, Persia, dan Eropa.
Tidak perlu biaya mahal untuk menikmati sisa keindahan dan cerita kejayaan Kesultanan Islam Banten. Cukup membayar Rp 1.000, pengunjung sudah dapat mengantongi tiket untuk menjelajahi museum seluas 1.000 meter persegi.
Syekh Maulana Mansyuruddin Al Bantani-Cikadueun Pandeglang
Makam Syekh Maulana Mansyuruddin Al Bantani terletak di Cikadueun Pandeglang. Berjarak 39.6 km dari pusat kota Serang ke arah selatan (Labuan). Jika berkendara dari kota Serang dibutuhkan waktu sekitar 1 jam 30 menit, dengan kondisi jalan 80% beraspal mulus.
Syekh Maulana Mansyuruddin dikenal dengan nama Sulthon Haji, beliau adalah putra Sulthon Agung Abdul Fatah Tirtayasa (raja Banten ke 6).
Pada saat berangkat ke Bagdad Iraq, Sulthon Maulana Mansyuruddin diberi wasiat oleh Ayahnya, ”Apabila engkau mau berangkat mendirikan Negara di Bagdad janganlah menggunakan/memakai seragam kerajaan nanti engkau akan mendapat malu, dan kalau mau berangkat ke Bagdad untuk tidak mampir ke mana-mana harus langsung ke Bagdad, terkecuali engkau mampir ke Mekkah dan sesudah itu langsung kembali ke Banten.
Setibanya di Bagdad, ternyata Sulthon Maulana Mansyuruddin tidak sanggup untuk mendirikan Negara Banten di Bagdad sehingga beliau mendapat malu. Didalam perjalanan pulang kembali ke tanah Banten, Sulthon Maulana Mansyuruddin lupa pada wasiat Ayahnya, sehingga beliau mampir di pulau Menjeli di kawasan wilayah Cina, dan menetap kurang lebih 2 tahun di sana, lalu beliau menikah dengan Ratu Jin dan mempunyai putra satu. Selama Sulthon Maulana Mansyuruddin berada di pulau Menjeli Cina, Sulthon Adipati Ishaq di Banten terbujuk oleh Belanda sehingga diangkat menjadi Sulthon resmi Banten, tetapi Sulthon Agung Abdul Fatah tidak menyetujuinya dikarenakan Sulthon Maulana Mansyuruddin masih hidup dan harus menunggu kepulangannya dari Negeri Bagdad, karena adanya perbedaan pendapat tersebut sehingga terjadi kekacauan di Kesultanan Banten. Pada suatu ketika ada seseorang yang baru turun dari kapal mengaku-ngaku sebagai Sulthon Maulana Mansyurudin dengan membawa oleh-oleh dari Mekkah. Akhirnya orang-orang di Kesultanan Banten pun percaya bahwa Sulthon Maulana Mansyurudin telah pulang termasuk Sulthon Adipati Ishaq. Orang yang mengaku sebagai Sulthon Maulana Mansyuruddin ternyata adalah raja pendeta keturunan dari Raja Jin yang menguasai Pulau Menjeli Cina. Selama menjabat sebagai Sulthon palsu dan membawa kekacauan di Banten, akhirnya rakyat Banten membenci Sulthon dan keluarganya termasuk ayahanda Sulton yaitu Sulthon Agung Abdul Fatah. Untuk menghentikan kekacauan di seluruh rakyat Banten Sulthon Agung Abdul Fatah dibantu oleh seorang tokoh atau Auliya Alloh yang bernama Pangeran Bu`ang (Tubagus Bu`ang), beliau adalah keturunan dari Sulthon Maulana Yusuf (Sulthon Banten ke 2) dari Keraton Pekalangan Gede Banten. Sehingga kekacauan dapat diredakan dan rakyat pun membantu Sulthon Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang sehingga terjadi pertempuran antara Sulthon Maulana Mansyuruddin palsu dengan Sulthon Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang yang dibantu oleh rakyat Banten, tetapi dalam pertempuran itu Sulthon Agung Abdul Fatah dan Pangeran Bu`ang kalah sehingga dibuang ke daerah Tirtayasa, dari kejadian itu maka rakyat Banten memberi gelar kepada Sulthon Agung Abdul Fatah dengan sebutan Sulthon Agung Tirtayasa. Peristiwa adanya pertempuran dan dibuangnya Sulthon Agung Abdul Fatah ke Tirtayasa akhirnya sampai ke telinga Sulthon Maulana Mansyuruddin di pulau Menjeli Cina, sehingga beliau teringat akan wasiat ayahandanya lalu beliau pun memutuskan untuk pulang, sebelum pulang ke tanah Banten beliau pergi ke Mekkah untuk memohon ampunan kepada Alloh SWT di Baitulloh karena telah melanggar wasiat ayahnya, setelah sekian lama memohon ampunan, akhirnya semua perasaan bersalah dan semua permohonannya dikabulkan oleh Alloh SWT sampai beliau mendapatkan gelar kewalian dan mempunyai gelar Syekh di Baitulloh. Setelah itu beliau berdoa meminta petunjuk kepada Alloh untuk dapat pulang ke Banten akhirnya beliau mendapatkan petunjuk dan dengan izin Alloh SWT beliau menyelam di sumur zam-zam kemudian muncul suatu mata air yang terdapat batu besar ditengahnya lalu oleh beliau batu tersebut ditulis dengan menggunakan telunjuknya yang tepatnya di daerah Cibulakan Cimanuk Pandeglang Banten di sehingga oleh masyarakat sekitar dikeramatkan dan dikenal dengan nama Keramat Batu Qur`an. Setibanya di Kasultanan Banten dan membereskan semua kekacauan di sana, dan memohon ampunan kepada ayahanda Sulthon Agung Abdul Fatah Tirtayasa. Sehingga akhirnya Sulthon Maulana Mansyuruddin kembali memimpin Kesultanan Banten, selain memjadi seorang Sulthon beliau pun mensyiarkan islam di daerah Banten dan sekitarnya.
Dalam perjalanan menyiarkan islam beliau sampai ke daerah Cikoromoy lalu menikah dengan Nyai Sarinten (Nyi Mas Ratu Sarinten) dalam pernikahannya tersebut beliau mempunyai putra yang bernama Muhammad Sholih yang memiliki julukan Kyai Abu Sholih. Setelah sekian lama tinggal di daerah Cikoromoy terjadi suatu peristiwa dimana Nyi Mas Ratu Sarinten meninggal terbentur batu kali pada saat mandi, beliau terpeleset menginjak rambutnya sendiri, konon Nyi Mas Ratu Sarinten mempunyai rambut yang panjangnya melebihi tinggi tubuhnya, akibat peristiwa tersebut maka Syekh Maulana Mansyuru melarang semua keturunannya yaitu para wanita untuk mempunyai rambut yang panjangnya seperti Nyi mas Ratu Sarinten. Nyi Mas Ratu Sarinten kemudian dimakamkan di pasarean cikarayu cimanuk. Sepeninggal Nyi Mas Ratu Sarinten lalu Syekh Maulana Mansyur pindah ke daerah Cikaduen Pandeglang dengan membawa Khodam Ki Jemah lalu beliau menikah kembali dengan Nyai Mas Ratu Jamilah yang berasal dari Caringin Labuan.
Pada suatu hari Syekh Maulana Mansyur menyebarkan syariah agama islam di daerah selatan ke pesisir laut, di dalam perjalanannya di tengah hutan Pakuwon Mantiung Sulthon Maulana Mansyuruddin beristirahat di bawah pohon waru sambil bersandar bersama khodamnya Ki Jemah, tiba-tiba pohon tersebut menjongkok seperti seorang manusia yang menghormati, maka sampai saat ini pohon waru itu tidak ada yang lurus. Ketika Syekh sedang beristirahat di bawah pohon waru beliau mendengar suara harimau yang berada di pinggir laut. Ketika Syekh menghampiri ternyata kaki harimau tersebut terjepit kima, setelah itu harimau melihat Syekh Maulana Mansyur yang berada di depannya, melihat ada manusia di depannya harimau tersebut pasrah bahwa ajalnya telah dekat, dalam perasaan putus asa harimau itu mengaum kepada Syekh Maulana Mansyur maka atas izin Alloh SWT tiba-tiba Syekh Maulana Mansyur dapat mengerti bahasa binatang, Karena beliau adalah seorang manusia pilihan Alloh dan seorang Auliya dan Waliyulloh. Maka atas izin Alloh pulalah, dan melalui karomahnya beliau kima yang menjepit kaki harimau dapat dilepaskan, setelah itu harimau tersebut di bi`at oleh beliau, lalu beliau pun berbicara " saya sudah menolong kamu ! saya minta kamu dan anak buah kamu berjanji untuk tidak mengganggu anak, cucu, dan semua keturunan saya ".
Kemudian harimau itu menyanggupi dan akhirnya diberikan kalung
1. Ujung Kulon yang dipimpin oleh Ki Maha Dewa
2. Gunung Inten yang dipimpin oleh Ki Bima Laksana
3. Pakuwon Lumajang yang dipimpin oleh Raden Singa Baruang
4. Gunung Pangajaran yang dipimpin oleh Ki Bolegbag Jaya
5. Manjau yang dipimpin oleh Raden Putri
6. Mantiung yang dipimpin oleh Raden langlang Buana atau Ki Buyud Kalam atau si pincang.
Setelah sekian lama menyiarkan islam ke berbagai daerah di banten dan sekitarnya, lalu Syekh Maulana Manyuruddin dan khadamnya Ki Jemah pulang ke Cikaduen. Akhirnya Syekh Maulana Mansyuruddin meninggal dunia pada tahun 1672M dan di makamkan di Cikaduen Pandeglang Banten. Hingga kini makam beliau sering diziarahi oleh masyarakat dan dikeramatkan.
Rabu, 09 Desember 2009
Sejarah Banten
Bandar Banten sebagai salah satu bandar internasional abad 16-19 M, terletak di ujung barat bagian utara Pulau Jawa. Bukti-bukti sejarah dan arkeologi yang banyak terdapat di Situs Banten memberikan petunjuk kuat bahwa Bandar itu memegang peran cukup besar dalam dunia perniagaan masa silam.
Keletakannya yang secara geografis terletak antara Malaka dan Gresik, menjadikannya salah satu bandar internasional yang membawa berbagai pengaruh baik dari segi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan maupun agama. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Banten berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maupun dari negara asing, terutama Cina, India, Arab, dan pada masa yang lebih kemudian Eropa. Kapal-kapal itu tidak semata-mata membawa barang niaga dari negara atau daerahnya masing-masing untuk diperdagangkan di situ, tetapi mereka juga membeli komoditi yang berasal dari kerajaan Banten atau daerah lain yang diantarpulaukan melalui bandar Banten. Dapat dipastikan Banten memiliki hubungan dengan daerah pedalamannya sehingga berperan sebagai “pintu” bagi kerajaan Banten dengan dunia luar.
Di bandar Banten itulah terjadi interaksi sosial sehingga memperlancar kontak budaya yang berawal dari kegiatan ekonomi dan berkembang ke bidang-bidang sosial, politik, agama, seni dan kebudayaan dalam arti luas.
Memasuki pintu gerbang situs Banten Lama di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, sepintas terasa terbawa ke cerita masa lalu. Masa di mana Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada abad XVI-XVIII Masehi.
Sisa bangunan tua mulai terlihat menyembul di antara rumpun padi di sebelah kiri jalan masuk. Bangunan itu merupakan sisa gapura Gedong Ijo, tempat tinggal para perwira kerajaan.
Melaju beberapa meter dari gerbang, puing-puing reruntuhan bangunan besar mulai terlihat. Itulah Keraton Surosowan, kediaman para sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 hingga Sultan Haji yang memerintah pada 1672-1687.
Semula, bangunan keraton yang seluas hampir 4 hektar itu bernama Kedaton Pakuwan. Terbuat dari tumpukan batu bata merah dan batu karang, dengan ubin berbentuk belah ketupat berwarna merah.
Sisa bangunan yang kini masih bisa dinikmati adalah benteng setinggi 0,5-2 meter yang mengelilingi keraton dan sisa fondasi ruangan. Sisa pintu masuk utama di sisi utara kini tinggal tumpukan batu bata merah dan bongkahan batu karang yang menghitam.
Bangunan kolam persegi empat di tengah keraton merupakan pemandangan lain yang ada di dalam benteng. Menurut catatan sejarah, puing itu merupakan bekas kolam Rara Denok, pemandian para putri.
Di bagian belakang atau di sisi selatan, terlihat pula sisa bangunan berbentuk kolam menempel pada benteng. Dahulu, kolam itu digunakan sebagai pemandian pria-pria kerajaan, yang disebut Pancuran Mas.
Air yang dialirkan ke kolam Rara Denok dan Pancuran Mas berasal dari mata air Tasik Ardi, sebuah danau buatan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan atau tepatnya barat daya keraton. Disalurkan ke keraton dengan menggunakan pipa yang terbuat dari tanah liat.
Sebelum masuk keraton, air dari Tasik Ardi harus melalui tiga kali proses penyaringan. Bangunan penyaringan itu disebut Pangindelan Abang, Pangindelan Putih, dan Pangindelan Mas.
Saat ini lokasi Tasik Ardi masuk dalam wilayah Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu,Kabupaten Serang, yang dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Sementara itu, tiga bangunan pangindelan masih bisa dilihat di Jalan Purbakala, antara Keraton Surosowan dan Tasik Ardi. Sayangnya, sekarang jalan ini hanya bisa dilintasi sepeda karena warga masih menggunakan tempat itu sebagai jalan air di tengah persawahan.
Di sudut sebelah barat terlihat sebuah bangunan menyerupai cincin. Tempat itu disebut ruang Pasepen, yang digunakan sebagai tempat sultan beribadah.
Bangunan keraton ini pertama kali dihancurkan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada 1680. Keraton dibumihanguskan saat Kesultanan Banten berperang melawan penjajah Belanda.
Simbol kebesaran kerajaan Islam Banten itu kembali dihancurkan pada 1813. Ketika itu, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Daendels memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan keraton karena Sultan Rafiudin (sultan terakhir Kerajaan Banten) tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Reruntuhan bangunan keraton juga terlihat di bagian selatan Keraton Surosowan. Pada bagian depan terpancang papan bertuliskan ”Situs Keraton Kaibon”, dengan luas sekitar 2 hektar. Keraton ini dibangun pada 1815 sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah, ibu Sultan Muhammad Rafiuddin yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan karena putranya masih berusia lima tahun.
Bangunan bersejarah lain yang bisa dinikmati adalah Jembatan Rante, yang terletak di depan Keraton Surosowan, tepatnya di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama. Jembatan hidraulis itu berdiri di atas kanal yang saat ini sudah menyempit dan berubah fungsi menjadi kubangan air.
Dahulu Jembatan Rante digunakan sebagai tempat pemeriksaan kapal-kapal yang keluar-masuk keraton. Jembatan ini akan terangkat jika ada kapal yang lewat dan akan kembali rata setelah kapal berlalu.
Salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh adalah Masjid Agung Banten Lama, berikut menara setinggi 23 meter. Masjid inilah yang paling terkenal di Situs Banten Lama dan selalu penuh sesak oleh para peziarah, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam.
Keletakannya yang secara geografis terletak antara Malaka dan Gresik, menjadikannya salah satu bandar internasional yang membawa berbagai pengaruh baik dari segi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan maupun agama. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Banten berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maupun dari negara asing, terutama Cina, India, Arab, dan pada masa yang lebih kemudian Eropa. Kapal-kapal itu tidak semata-mata membawa barang niaga dari negara atau daerahnya masing-masing untuk diperdagangkan di situ, tetapi mereka juga membeli komoditi yang berasal dari kerajaan Banten atau daerah lain yang diantarpulaukan melalui bandar Banten. Dapat dipastikan Banten memiliki hubungan dengan daerah pedalamannya sehingga berperan sebagai “pintu” bagi kerajaan Banten dengan dunia luar.
Di bandar Banten itulah terjadi interaksi sosial sehingga memperlancar kontak budaya yang berawal dari kegiatan ekonomi dan berkembang ke bidang-bidang sosial, politik, agama, seni dan kebudayaan dalam arti luas.
Memasuki pintu gerbang situs Banten Lama di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, sepintas terasa terbawa ke cerita masa lalu. Masa di mana Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada abad XVI-XVIII Masehi.
Sisa bangunan tua mulai terlihat menyembul di antara rumpun padi di sebelah kiri jalan masuk. Bangunan itu merupakan sisa gapura Gedong Ijo, tempat tinggal para perwira kerajaan.
Melaju beberapa meter dari gerbang, puing-puing reruntuhan bangunan besar mulai terlihat. Itulah Keraton Surosowan, kediaman para sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 hingga Sultan Haji yang memerintah pada 1672-1687.
Semula, bangunan keraton yang seluas hampir 4 hektar itu bernama Kedaton Pakuwan. Terbuat dari tumpukan batu bata merah dan batu karang, dengan ubin berbentuk belah ketupat berwarna merah.
Sisa bangunan yang kini masih bisa dinikmati adalah benteng setinggi 0,5-2 meter yang mengelilingi keraton dan sisa fondasi ruangan. Sisa pintu masuk utama di sisi utara kini tinggal tumpukan batu bata merah dan bongkahan batu karang yang menghitam.
Bangunan kolam persegi empat di tengah keraton merupakan pemandangan lain yang ada di dalam benteng. Menurut catatan sejarah, puing itu merupakan bekas kolam Rara Denok, pemandian para putri.
Di bagian belakang atau di sisi selatan, terlihat pula sisa bangunan berbentuk kolam menempel pada benteng. Dahulu, kolam itu digunakan sebagai pemandian pria-pria kerajaan, yang disebut Pancuran Mas.
Air yang dialirkan ke kolam Rara Denok dan Pancuran Mas berasal dari mata air Tasik Ardi, sebuah danau buatan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan atau tepatnya barat daya keraton. Disalurkan ke keraton dengan menggunakan pipa yang terbuat dari tanah liat.
Sebelum masuk keraton, air dari Tasik Ardi harus melalui tiga kali proses penyaringan. Bangunan penyaringan itu disebut Pangindelan Abang, Pangindelan Putih, dan Pangindelan Mas.
Saat ini lokasi Tasik Ardi masuk dalam wilayah Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu,Kabupaten Serang, yang dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Sementara itu, tiga bangunan pangindelan masih bisa dilihat di Jalan Purbakala, antara Keraton Surosowan dan Tasik Ardi. Sayangnya, sekarang jalan ini hanya bisa dilintasi sepeda karena warga masih menggunakan tempat itu sebagai jalan air di tengah persawahan.
Di sudut sebelah barat terlihat sebuah bangunan menyerupai cincin. Tempat itu disebut ruang Pasepen, yang digunakan sebagai tempat sultan beribadah.
Bangunan keraton ini pertama kali dihancurkan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada 1680. Keraton dibumihanguskan saat Kesultanan Banten berperang melawan penjajah Belanda.
Simbol kebesaran kerajaan Islam Banten itu kembali dihancurkan pada 1813. Ketika itu, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Daendels memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan keraton karena Sultan Rafiudin (sultan terakhir Kerajaan Banten) tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Reruntuhan bangunan keraton juga terlihat di bagian selatan Keraton Surosowan. Pada bagian depan terpancang papan bertuliskan ”Situs Keraton Kaibon”, dengan luas sekitar 2 hektar. Keraton ini dibangun pada 1815 sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah, ibu Sultan Muhammad Rafiuddin yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan karena putranya masih berusia lima tahun.
Bangunan bersejarah lain yang bisa dinikmati adalah Jembatan Rante, yang terletak di depan Keraton Surosowan, tepatnya di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama. Jembatan hidraulis itu berdiri di atas kanal yang saat ini sudah menyempit dan berubah fungsi menjadi kubangan air.
Dahulu Jembatan Rante digunakan sebagai tempat pemeriksaan kapal-kapal yang keluar-masuk keraton. Jembatan ini akan terangkat jika ada kapal yang lewat dan akan kembali rata setelah kapal berlalu.
Salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh adalah Masjid Agung Banten Lama, berikut menara setinggi 23 meter. Masjid inilah yang paling terkenal di Situs Banten Lama dan selalu penuh sesak oleh para peziarah, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)