Bandar Banten sebagai salah satu bandar internasional abad 16-19 M, terletak di ujung barat bagian utara Pulau Jawa. Bukti-bukti sejarah dan arkeologi yang banyak terdapat di Situs Banten memberikan petunjuk kuat bahwa Bandar itu memegang peran cukup besar dalam dunia perniagaan masa silam.
Keletakannya yang secara geografis terletak antara Malaka dan Gresik, menjadikannya salah satu bandar internasional yang membawa berbagai pengaruh baik dari segi sosial, politik, ekonomi, kebudayaan maupun agama. Kapal-kapal yang berlabuh di bandar Banten berasal dari berbagai daerah di Indonesia, maupun dari negara asing, terutama Cina, India, Arab, dan pada masa yang lebih kemudian Eropa. Kapal-kapal itu tidak semata-mata membawa barang niaga dari negara atau daerahnya masing-masing untuk diperdagangkan di situ, tetapi mereka juga membeli komoditi yang berasal dari kerajaan Banten atau daerah lain yang diantarpulaukan melalui bandar Banten. Dapat dipastikan Banten memiliki hubungan dengan daerah pedalamannya sehingga berperan sebagai “pintu” bagi kerajaan Banten dengan dunia luar.
Di bandar Banten itulah terjadi interaksi sosial sehingga memperlancar kontak budaya yang berawal dari kegiatan ekonomi dan berkembang ke bidang-bidang sosial, politik, agama, seni dan kebudayaan dalam arti luas.
Memasuki pintu gerbang situs Banten Lama di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten, sepintas terasa terbawa ke cerita masa lalu. Masa di mana Kesultanan Banten mengalami kejayaan pada abad XVI-XVIII Masehi.
Sisa bangunan tua mulai terlihat menyembul di antara rumpun padi di sebelah kiri jalan masuk. Bangunan itu merupakan sisa gapura Gedong Ijo, tempat tinggal para perwira kerajaan.
Melaju beberapa meter dari gerbang, puing-puing reruntuhan bangunan besar mulai terlihat. Itulah Keraton Surosowan, kediaman para sultan Banten, dari Sultan Maulana Hasanudin pada tahun 1552 hingga Sultan Haji yang memerintah pada 1672-1687.
Semula, bangunan keraton yang seluas hampir 4 hektar itu bernama Kedaton Pakuwan. Terbuat dari tumpukan batu bata merah dan batu karang, dengan ubin berbentuk belah ketupat berwarna merah.
Sisa bangunan yang kini masih bisa dinikmati adalah benteng setinggi 0,5-2 meter yang mengelilingi keraton dan sisa fondasi ruangan. Sisa pintu masuk utama di sisi utara kini tinggal tumpukan batu bata merah dan bongkahan batu karang yang menghitam.
Bangunan kolam persegi empat di tengah keraton merupakan pemandangan lain yang ada di dalam benteng. Menurut catatan sejarah, puing itu merupakan bekas kolam Rara Denok, pemandian para putri.
Di bagian belakang atau di sisi selatan, terlihat pula sisa bangunan berbentuk kolam menempel pada benteng. Dahulu, kolam itu digunakan sebagai pemandian pria-pria kerajaan, yang disebut Pancuran Mas.
Air yang dialirkan ke kolam Rara Denok dan Pancuran Mas berasal dari mata air Tasik Ardi, sebuah danau buatan yang berjarak sekitar 2,5 kilometer di sebelah selatan atau tepatnya barat daya keraton. Disalurkan ke keraton dengan menggunakan pipa yang terbuat dari tanah liat.
Sebelum masuk keraton, air dari Tasik Ardi harus melalui tiga kali proses penyaringan. Bangunan penyaringan itu disebut Pangindelan Abang, Pangindelan Putih, dan Pangindelan Mas.
Saat ini lokasi Tasik Ardi masuk dalam wilayah Desa Margasana, Kecamatan Kramatwatu,Kabupaten Serang, yang dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Sementara itu, tiga bangunan pangindelan masih bisa dilihat di Jalan Purbakala, antara Keraton Surosowan dan Tasik Ardi. Sayangnya, sekarang jalan ini hanya bisa dilintasi sepeda karena warga masih menggunakan tempat itu sebagai jalan air di tengah persawahan.
Di sudut sebelah barat terlihat sebuah bangunan menyerupai cincin. Tempat itu disebut ruang Pasepen, yang digunakan sebagai tempat sultan beribadah.
Bangunan keraton ini pertama kali dihancurkan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada 1680. Keraton dibumihanguskan saat Kesultanan Banten berperang melawan penjajah Belanda.
Simbol kebesaran kerajaan Islam Banten itu kembali dihancurkan pada 1813. Ketika itu, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Daendels memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan keraton karena Sultan Rafiudin (sultan terakhir Kerajaan Banten) tak mau tunduk pada perintah Belanda.
Reruntuhan bangunan keraton juga terlihat di bagian selatan Keraton Surosowan. Pada bagian depan terpancang papan bertuliskan ”Situs Keraton Kaibon”, dengan luas sekitar 2 hektar. Keraton ini dibangun pada 1815 sebagai tempat tinggal Ratu Aisyah, ibu Sultan Muhammad Rafiuddin yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan karena putranya masih berusia lima tahun.
Bangunan bersejarah lain yang bisa dinikmati adalah Jembatan Rante, yang terletak di depan Keraton Surosowan, tepatnya di sebelah utara Masjid Agung Banten Lama. Jembatan hidraulis itu berdiri di atas kanal yang saat ini sudah menyempit dan berubah fungsi menjadi kubangan air.
Dahulu Jembatan Rante digunakan sebagai tempat pemeriksaan kapal-kapal yang keluar-masuk keraton. Jembatan ini akan terangkat jika ada kapal yang lewat dan akan kembali rata setelah kapal berlalu.
Salah satu bangunan yang masih berdiri kokoh adalah Masjid Agung Banten Lama, berikut menara setinggi 23 meter. Masjid inilah yang paling terkenal di Situs Banten Lama dan selalu penuh sesak oleh para peziarah, terutama pada peringatan hari-hari besar Islam.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar